Part 2 : Nama Itu
“Ana Murtafiah!”, Aku memulai mengabsen nama-nama siswa baru. “Nur Fauziah!”, lanjutku lagi. “Hadir  kak”, sahut siswi yang kusebutkan namanya. Suaranya terdengar kaku di antara yang lainnya, seakan-akan mengambang kemudian terbawa angin sebelum sampai ke telingaku. “Nur Fauziah”, ulangku lagi memastikan siapa gerangan pemlik nama itu. “Hadir Kak”, sahut siswi itu lagi, tapi kali ini lebih lantang dari sebelumnya. Sekilas Aku melirik ke arahnya kemudian melanjutkan lagi.
Perlu kalian tahu kalau Aku itu sangat mengagumi wanita cantik, yah maklumlah cowok.,hehe. Tapi sebatas mengagumi, Aku tak pernah berani mendekat, entahlah, mungkin sindrom wanita cantik kali,hehe. Pada saat itu, mulutku terus mengabsen tapi mataku terkadang meliriknya. Entah dia merasa tersinggung atau tidak, bodo amat, sorry yah mat gak bermaksud katain bodo,hehe. Terus aja ia tunduk, entah ada apa di bawah sana.
Suasana MOS pada hari itu begitu ramai. Panitia kerjain siswa baru abis-abisan. Suruh inilah, itulah, dan yang paling seru jika disuruh menyet, eitz bukan menyetrika yach tapi katakan cinta. Wajarlah kalau mereka malu-malu coz maklumlah masih perkenalan dan butuh kesabaran extra untuk membujuk, tapi terkadang dengan gertakan sudah cukuplah untuk menyuruh siswa perempuan. Apalagi jika Aku yang menggertak, ruangan serasa gempa seperti Film Kungfu Hustle jurus Aungan Singa,hehe. Akan tetapi beda dengan siswa laki-lakinya, susah banget aturnya. Kayak anak kecil aja, lebih mending anak kecil bisa dibujuk dengan gula-gula, lah yang ini?? Habis suara baru bisa bergerak, itupun kalau ikhlas. Beginikah generasi muda sekarang???

***
“Hufft,.capek juga rasanya urus siswa baru yang gak mau mendengar”, ucap Ikbal sambil melempar tasnya ke atas tempat tidur dan mulai meneguk air dingin yang dibelinya tadi.
“Iya nih”, kataku sambil meraih air dingin dari tangan Ikbal dan mulai meneguknya hingga habis seperti mendapatkan air dingin di tengah-tengah gurun pasir.
Oh iya, kini hari-hariku pada saat itu tak sendiri lagi di kamar seperti tahun-tahun sebelumya karena kini ditemani oleh Ikbal. Boleh dikata, kami berdua sudah seperti saudara, bagai semut dan gula. Dimana ada gula, disitu ada semut. Namun perbandingan fisik sangat jauh berbeda, jika membahas lagi soal pengandaian, kami seperti Pangeran dan Shrek. Ikbal memiliki postur tubuh yang hampir ideal, kulit hitam manis, gagah, dan sangatlah jauh beda denganku. Terkadang Aku merasa cemburu dengan Ikbal, bukan karena parasnya namun soal wanita. Hampir semua wanita di sekolah naksir padanya. Begitu mudahnya dia menaklukkan wanita, namun untungnya dia bukan pria Playboy. Yah, wanita. Mengapa selalu menjadi kontroversi. Begitu misterius. Sulit tuk ditebak. Kamiberdua tidak pernah saling merahasiakan, apalagi soal wanita. Lagi-lagi soal wanita,hehe. Alasan Ikbal tinggal di rumahku karena rumahnya jauh dari sekolah, dan pada saat itu sudah dimulai tambahan belajar untuk menghadapi UAN dan UAS. Maka untuk mensiasatinya, Ikbal memilih rumahku yang kebetulan agak dekat dengan sekolah.
“Eh, tahu gak. Tadi di sekolah saya sempat melirik cewek, siswa baru. Cantik, gue banget. Kebetulan dia di gugusku”, kata Ikbal memulai pembicaraan. “Dari tatapan matanya, kayaknya sih dia juga suka sama saya”, lanjut Ikbal serius.
“Zul...! dengar gak sih?”, gertak Ikbal sambil melemparkan bantal ke arahku yang sibuk otak-atik komputer.
“Apa..apa..apa? kamu bilang apa? Sorry, saya gak dengar, gi sibuk nih. Kenapa tadi?”, tanyaku yang kaget dan dengan cueknya melanjutkan kembali aktivitasku. Melihat tingkahku, Ikbal menggelengkan kepala dan tidak jadi meneruskan ceritanya karena dia tahu pasti kalau Zul sibuk, jangan pernah untuk mengganggunya. Makan hatilah yang kita dapatkan jika terus mencoba.
“Zul..Ikbal.., makan!”, terdengar suara teriakan dari luar kamar.
“Iya Ma, tunggu”, sahut Zul dengan cepatnya.
“Yeee., giliran makanan, telinganya tajam banget, dasar ullak (istilah daerah rakus)”, tukas Ikbal sambil menggelengkan kepala melihat tingkahku.
Malam makin larut, aktivitas di rumahku masih ramai dengan suara anak-anak yang main. Di rumahku tinggal Ayah dan Bunda, kakak perempuan dengan dua anaknya masing-masing kelas 3 dan 4 SD dan kebetulan keluarga kakakkku yang pertama datang dan membawa dua anaknya, maka bertambahlah keramaian malam itu. Aku dan Ikbal memilih untuk ke teras memainkan gitar daripada harus mendengarkan teriakan dari anak kecil itu dan lagu pada malam itu jatuh pada lagu Sheila On 7 dengan judul Pria Kesepian. Yah, pria kesepian. Sangat cocok bagiku yang tidak pernah merasakan pacaran, berbeda dengan Ikbal yang dengan mudahnya mendapatkan wanita yang dinaksirnya.
“menikmati pedihnya cinta, pria kesepiaaan. Menikmati dinginnya hati, pria kesepian”, terdengar dari suaraku yang pas-pasan dengan skill gitar yang pas-pasan pula. Bisa aja Eross marah mendengar lagu ciptaannya dirusak olehku,hehe.
“Oh iya, tadi sore kau cerita apa?”, tanyaku ke Ikbal sembari terus melantunkan gitar tua yang kudapatkan dari seorang pengangguran yang sekaligus menjadi orang yang berjasa mengajarkanku bermain gitar.
“hmm., yang mana?”, pikir Ikbal mencoba mengingat perkataannya tadi sore. Terus menggali isi memorinya. Mukanya mulai cerah seperti mendapatkan uang kaget. “Oh yang itu. Gini, tadi pagi di sekolah saya lihat cewek. Saya langsung naksir gitu deh, mungkin itu yang dinamakan pandangan pertama,hehe.”, semakin seru bercerita dan menampakan senyumnya yang khas dihiasi dengan lesung pipi yang manis, dan itu juga yang menjadi nilai plus baginya. “Dan dari tatapan matanya melihatku, kayaknya dia juga naksir dengan saya Zul. Eh, kali ini kau dengar kata saya kan?”, tegur Ikbal kepada ku yang nampaknya lagi-lagi tidak menyimak pembicaraannya.
“Iya,.iya,.saya dengar. Kok bisa langsung naksir? Anak gugus mana? Namanya Siapa? Tinggal dimana? Cantik gak?”, serangan pertanyaan yang bertubi-tubi kulontarkan, membuat Ikbal makin semangat cerita.
“Ya bisa dong. Dia itu ada di gugusku, namanya Nur Azizah. Gak tahu nak mana, and cantik banget Zul, cuman agak pendek. Tapi itu semua menutupi kecantikannya,hehe”, jelas ikbal.
“Siapa..siapa..siapa? Siapa tadi namanya?”, tanyaku sedikit heran.
“Nur Azizah”, jawab Ikbal.
Nur Azizah, nama itu mirip dengan gadis di gugusku tadi pagi. Kucoba mengingatnya. Namun tak ada hasil. Seperti telah terestart dalam memoryku.
“Hoooaaammmmfftt.., udah ngantuk nih. Bobo yuk, besok lagi ceritanya”, tegur Ikbal sambil mengaup tak tahan kantuk  dan langsung masuk ke dalam rumah.
“Nur.., Nur.., Nur., aduh nama itu”, kucoba lagi tuk terus mengingatnya dan hasilnya tetap sama. Pelupa. Yah, panggilan yang cocok buatku. Memang itu yang menjadi peliharaanku sejak kecil, sifat pelupa.
Bersambung. . .
Category:

+ komentar + 3 komentar

5 Desember 2010 pukul 23.42

mohon sarapan dan kripiknya

16 Januari 2012 pukul 10.35

saya kenal nama-nama itu, tak adakah yang marah setelah membacanya? kenapa pulak tak ada namaku di situasi UAN ?? hahaha :p

Terimakasih Uddhani atas Komentarnya di Part 2 : Nama Itu
15 Maret 2012 pukul 22.12

haha,.
sudah dapat izin dari pihak terkait,.
ada khusus cerita buat kita,.dimana akan mengisi penuh bLog ini,.haha Lebay,.

mohon bantuannya juga tuk keLanjutan cerita ini, pemilihan bahasanya gitu dech,.dan masih banyak yg perLu saya peLajari dari seorang penuLis seperti anda,.

Posting Komentar

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( :-p =))